Minggu, 23 Februari 2014

Filled Under:

Jejak Prajurit Islam Majapahit dari Bali hingga Australia

Mengagumkan ..... , ternyata wilayah Majapahit lebih luas dari yang diperkirakan dan dipercaya awam pemerhati selama ini.
Riset terbaru yang meneliti jejak-jejak penempatan prajurit Majapahit di luar Jawa menemukan fakta yang unik: pleton-pleton Majapahit tersebut beranggotakan prajurit beragama Islam, seperti yang peninggalannya masih bisa dijejaki sampai sekarang.
  Adanya penempatan prajurit Majapahit di Kerajaan-kerajaan
vassal (= nation or group that is dependent on or subordinate to another, bawahan/taklukan) yang terdiri dari 40 prajurit elit beragama Islam di Kerajaan Gelgel (Bal), Wanin (Papua), Kayu Jawa (Australia Barat), dan Marege-Tanah Amhem (Darwin, Australia Utara) pada abad ke 14 juga memperkuat bukti bahwa Gajah Mada adalah seorang Muslim.
Prajurit Islam ini berasal dari basis Gajah Mada: Mada; Gondang (Tenggulun, Lamongan) dan Badander (Jombang) yang diketahui sebagai basis teman-teman lama beliau. Dari desa-desa ini pemudanya direkrut menjadi Bhayangkara berbagai angkatan, sedangkan Tuban, Leran, Ampel, Sedayu sebagai basis Garda Pantura Jawa serta Pahang (Malaya), Bugis/Makasar (Sulawesi), dan Pasai (Aceh) sebagai basis tentara Laut Luar Jawa.
Hal ini adalah wajar, karena di Jawa Islam telah berbaur sejak abad ke 10 seperti dibuktikan dengan penemuan Prasasti nisan Fatimah binti Maimun (wafat 1082 M) di Leran, Gresik yang bertuliskan huruf Arab Kufi dan Prasasti Gondang, Lamongan yang ditulis dengan huruf Arab (Jawi) dan huruf Jawa Kuno (Kawi) yang kedua-duanya merupakan peninggalan zaman Airlangga. Ke belakang lagi bisa ditelusuri Islam sudah masuk ke Jawa sejak zaman Kerajaan Medang abad ke 7, walaupun Islam baru berkembang dengan pesat di Jawa pada abad ke 15, atas peran tak langsung dari politikus dan negarawan abad ke 14 Gajah Mada, putra desa Mada, Lamongan.


Pembentukan Satuan Elit, Pabrik Senjata dan Dinar Emas
Satuan pasukan elit Majapahit sudah dibangun sejak masa Jayanegara (1319), yaitu pasukan kawal raja – Bhayangkara, yang dipimpin oleh bekel Gajah Mada. Pada masa selanjutnya satuan elit ini terus berkembang, terutama pada masa Gajah Mada menjabat sebagai 
Mahapatih Hamangkubhumi dari tahun 1334 sampai 1359, atau sejak masa Ratu Tribhuwana Tunggadewi hingga masa Hayam Wuruk.
Menurut “Hikayat Raja-raja Pasai”, Majapahit pernah menyerang kerjaan Islam Pasai dan dipukul mundur (1345), tapi beberapa tahun kemudian lalu menyerang kembali dan meluluh lantakkan istana Pasai, sedangkan Sultan Ahmad Malik Az Zahir sempat melarikan diri sebelum istana dihancurkan (1350), 

Gajah Mada yang juga seorang muslim, membawa tawanan orang Pasai yang terdiri dari para insinyur lulusan Baghdad (Irak), Damaskus (Siria) dan Andalusia (Spanyol Selatan). Setibanya di Majapahit, atas perkenan Prabu Hayam Wuruk Gajah Mada kemudian membebaskan para tawanan tersebut.   
Orang-orang Pasai ini bersedia bekerjasama dengan Gajah Mada untuk membangun kejayaan Majapahit, dan sebagai balas jasa mereka dijadikan penghuni terhormat di komplek elit di Trowulan, ibukota Majapahit, tapi lebih dari pada itu Hayam Wuruk memberi otonomi kepada Kerajaan Pasai Darussalam (yang dibuktikan sewaktu Majapahit menghancurkan Kerajaan Budha Sriwijaya dan menguasai seluruh Pulau Sumatera di tahun 1377, Pasai di-KECUALI-kan dari langkah ekspansif tersebut). 

      “Maka titah Sang Nata akan segala tawanan orang Pasai itu, suruhlah ia duduk di tanah Jawa ini, mana kesukaan hatinya. Itulah sebabnya maka banyak keramat di tanah Jawa tatkala Pasai kalah oleh Majapahit itu” ( “Hikayat Raja-raja Pasai”).

Dengan adanya orang Pasai yang menguasai teknologi di bidang tempa logam (tembaga, baja maupun emas), maka didirikanlah bengkel senjata dan alat pertanian berbasis teknologi baja Damaskus, pabrik koin/dinar emas, serta saluran irigasi model Andalusia di Trowulan. 

Seiring dengan perluasan wilayah Majapahit untuk mewujudkan “Sumpah Palapa”, Gajah Mada kemudian mengembangkan gagasannya untuk membentuk pleton-pleton khusus yang berintikan prajurit Islam.

Prajurit Islam Majapahit di Bali.
Penempatan 40 orang prajurit Islam Majapahit di Kerajaan Gelgel, Klungkung, Bali dimulai ketika Raja Gelgel I, Dalem Ketut Ngulesir (1320 – 1400) berkunjung sowan ke ibukotaTrowulan, tak lama setelah deklarasi pendirian Kerajaan Gelgel tahun 1383. Beliau didampingi oleh Patih Agung Arya Patandakan dan Kyai Klapodyana (Gusti Kubon Tubuh) yang menghadap Prabu Hayam Wuruk saat upacara Cradha dan rapat tahunan negeri-negeri vassal imperium Majapahit. Ketut Ngulesir memohon dukungan dari Maharaja Majapahit, yang dikabulkan dengan pemberian 1 (satu) unit pleton khusus binaan Gajah Mada. (“Kitab Babad Dalem”, manuskrip tentang Raja-raja Bali).
Dalam perjalananan mengawal kembalinya rombongan Raja Dalem Ketut Ngulesir ke Gelgel, pleton elit Majapahit ini  dibekali  Hayam Wuruk dengan puluhan ribu koin Cina, koin Gobog Wayang (koin kepeng tembaga) serta ratusan koin dinar emas Majapahit. Ini sebagai balasan atas penyerahan upeti dari Kerajaan Gelgel berupa hasil bumi, hewan ternak dan tangkapan, perhiasan dan kerajinan tangan rakyat Gelgel. Hayam Wuruk berharap, stok berbagai koin tersebut mampu merangsang tumbuhnya perekonomian di Gelgel. Sejak saat itu Pura Klungkung dan Pura Buleleng (di sepanjang pantura Bali) akrab dengan dan menggunakan koin dinar emas dalam ritual ibadah mereka.

Seiring perjalanan waktu para prajurit Islam ini menikah dengan wanita Bali, dan beranak-pinak serta berkeluarga di sana. Mereka sangat setia membentengi Puri Gelgel, bahkan setelah imperium Majapahit runtuh (1527) mereka tetap menjadi tentara elit Kerajaan Gelgel dari generasi ke generasi.   Hal yang sama terjadi pula di Kerajaan Buleleng, prajurit Islam membentengi Puri Buleleng dari serangan Raja Mengwi dan Raja Badung dari kawasan Bali Selatan. Sampai saat ini masih dapat disaksikan keturunan prajurit Islam Majapahit yang telah mencapai ribuan orang (mereka menggunakan nama Bali, untuk membedakan dengan muslim pendatang) yang merupakan mayoritas penduduk desa-desa kuno di Gelgel (Klungkung) dan Pegayaman, Buleleng – 70 km arah utara Denpasar.

Kenapa Hayam Wuruk mengirimkan pleton-pleton prajurit Islam untuk mengawal negeri-negeri
vassal  Majapahit?

Pertanyaan di atas bisa dijawab dengan merunut balik dari pertanyaan awal: Kenapa terdiri dari 40 orang? 
Hayam Wuruk tahu Gajah Mada yang Muslim (seperti yang diketahuinya dari penuturan Ibunda Ratu Tribhuwana Tunggadewi) sengaja mengambil angka 40 dalam membangun sistem prajurit elitnya karena merujuk ke sunnah Nabi Muhammad SAW --   khususnya Madzhab Imam Syafi’i -- yang mengsyaratkan jumlah minimal 40 orang untuk mendirikan sholat Jumat.
Karena dibekali kemampuan militer yang dilengkapi dengan penguasaan berbagai jenis senjata yang terbilang modern dan bermutu tinggi di jamannya (produksi bengkel senjata bertehnologi Pasai seperti yang disebut di atas) maka kemampuan tempur  40 orang prajurit elit Islam ini setara -- atau malah lebih --  dengan 200-400 orang prajurit reguler lawan, seperti dibuktikan dalam perang mempertahankan Puri Buleleng dari serbuan pasukan gabungan dua Kerajaan Mengwi dan Badung seperti disebutkan di atas.
Di sisi lain Hayam Wuruk juga kagum atas kesetiaan dan ketetapan janji prajurit Islam yang tidak mudah terpengaruh  godaan harta, wanita dan tahta yang bukan haknya. Mereka tidak mudah tergoda untuk ber"mo-limo" (lima kata berawal aksara jawa "mo") yakni maling, mabuk, main (berjudi), madat (candu, atau narkoba) dan madon (main perempuan/berzina), yang merupakan kebiasaan buruk di era Majapahit, yang mereka anggap jauh sekali dari watak dan karakter Gajah Mada, panutan mereka.

Prajurit Islam Majapahit di Wanin, Papua
Saat Prof. JH Kern dan NJ Krom (1920) meneliti kitab Nagarakertagama yang dijarah oleh JLA Brandes dari istana Cakranagara, Lombok (1894). mereka mendapati bahwa kekuasaan Majapahit meliputi juga kawsan Papua Barat, yang dibuktikan dengan adanya penempatan prajurit Islam di Wanin, Papua. Kerajaan Wanin yang membentang dari Fak-fak hingga Biak merupakan vassal Majapahit. Sampai sekarang, Raja-raja dan rakyat kebanyakan di Wanin dan Fakfak sangat kental nuansa Islamnya serta banyak yang sangat fasih menghafal ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Tidak seperti di Bali yang hanya se"batu loncatan" dari daratan Pulau Jawa , prajurit Islam Majapahit ini membawa istri-istri yang mereka nikahi di Jawa atau dalam perjalanan/misi mereka di Bugis, Seram dan pulau Maluku, sebelum akhirnya menetap di Wanin. Saat Majapahit runtuh pada abad ke 16, Kerajaan Wanin bergabung dengan Kerajaan (Islam) Ternate Darussalam di Maluku Utara, yang dulunya juga merupakan vassal Majapahit. Diperkirakan situs-situs peninggalan Majapahit di Papua tersebar luas dari Fak-fak, Biak sampai Raja Ampat.

Prajurit Islam Majapahit di Marege, Australia
Prof. Regina Ganter, sejarawan dari University of Griffith, Brisbane, Australia – telah melakukan riset pada suku Aborigin Marege yang berbahasa Melayu Makasar. 

Marege adalah desa kuno di Arnhem, di daerah Darwin, Australia Utara. Regina mendapati bahwa komunitas Muslim kuno Aborigin berasal dari Kerajaan Gowa Tallo, Makasar, dan sudah ada sejak abad ke 17 (1650 an). Mereka juga menyebarkan Islam dari  Australia Utara hingga ke desa Kayu Jawa di Australia Barat.
Orang Marege hingga hari ini menyebut rupiah sebagai sebutan untuk uang, dan menyebut dinar untuk koin emas Australia. 

Dikisahkan bahwa dulu sempat ditemukan koin Gobog Wayang (yang seperti disebutkan di atas merupakan koin resmi Majapahit) di Marege Darwin,. walaupun  masih perlu pembuktian lebih lanjut untuk menyebutkan adanya jejak prajurit Majapahit abad ke 14 yang dikirim ke Marege.
  Prof. Regina menuturkan bahwa sejak masa Sultan Hasanuddin (1653-1669) kapal-kapal Pinisi dari Makasar menguasai perairan teluk Carpentaria dalam perburuan untuk mencari tripang. Di tanah Arnhem, Marege, orang Makassar berhubungan dengan suku Aborigin, menikah dan beranak pinak membentuk komunitas Aborigin Muslim. Dalam kebudayaan Marege, nampak jelas mereka menggambar kapal Pinisi Makasar dalam karya seni kuno mereka. Uniknya, kapal bercadik Majapahit pun terpahat dalam seni ukir dan lukis mereka yang berusia ratusan tahun.


  Ketika Inggris datang pada awal abad ke 20 mereka nyaris menghancurkan budaya Islam suku Aborigin Marege. Banyak karya seni Marage yang diboyong ke Eropa. Uniknya -- mungkin terbawa dari kebiasaan nenek moyang mereka -- orang Marege menyebut orang Inggris sebagai ‘Balanda’, sedangkan orang Kayu Jawa menyebutnya ‘Walanda’, dan perang melawan orang Inggris disebut ‘Jihad Kaphe’ (jihad melawan kafir).




Sumber

1 komentar:

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.